Jumat, 30 Mei 2008

Politik NU Pascapilpres

Melejitnya posisi Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla dalam pemilu presiden langsung 2004 jelas meninggalkan “luka” bagi kans politik NU. Penyebabnya, selama Pemilu 2004, NU telah “tercabik- cabik” berbagai kepentingan politik, baik dari politisi abangan (PDI-P dan Golkar) maupun para elitenya sendiri.

Seberapa parah “luka” NU pascadipolitisasi habis-habisan, masih adakah peluang bagi jama’ah diniyyah yang “bernafsu” politik besar ini mengulang masa kejayaan politiknya, seperti masa kemerdekaan dan Pemilu 1955 (PNU)? Hingga kini pasangan SBY-JK menduduki posisi teratas dengan suara sementara 33 persen, disusul pasangan Mega-Hasyim, 26 persen, Wiranto-Gus Solah 24 persen, Hamzah-Agum 3 persen (Kompas, 9/7).

Pemilu langsung ini benar-benar membuat kalkulasi politik, yang masih menggunakan paradigma primordialisme-aliran, meleset. Mega dan Wiranto yang ingin memanfaatkan fanatisme kiai dari warga NU kecele saat hasil quick count beberapa lembaga riset politik (LP3ES, NDI) menunjukkan sekitar 32 persen suara nahdliyin “dibelokkan” ke SBY-JK.

Namun, apakah politik NU akan habis saat yang terpilih menjadi presiden-wakil presiden nanti adalah SBY-JK yang bukan dari NU? Yang jelas, politic is the art of possibility dan NU merupakan ormas raksasa yang tidak kapok-kapok dan terbukti mempunyai potensi politis besar. Fanatisme warga, yang terbentuk oleh apa yang disebut Donald E Smith (1970) sebagai sistem politik tradisional berdasarkan keagamaan, telah membuat NU bergelimang sejarah politik praktis.

Yang perlu diingat, cerita politik NU yang sering tidak happy ending dan cenderung “dilukai”. Dimulai saat terpinggirkannya orang-orang NU di Masyumi (1939), yang menyebabkan NU berdiri sendiri sebagai Partai Nahdlatul Ulama (1952) dengan kemenangan mengimbangi PNI dan PKI, NU mengalami pemberangusan oleh Orde Baru. Pemberangusan itu menyebabkan “tubuh gemuk” NU dipangkas dalam PPP (1973), yang terbukti “menyakiti” dengan memarjinalkan wakil nahdliyin dalam kabinet (Mujamil Qomar, NU Liberal, Mizan: Bandung, 2002).

Berangkat dari “sakit hati” serta keinginan reorientasi organisasi, NU cerai dari politik praktis dengan menggelorakan “politik tanpa politik” (unpolitical politics) lewat Khittah 26. Namun, dasar “nafsu” politik NU besar, saat kebebasan politik terbuka pascaruntuhnya despotisme Soeharto, NU menjelma lagi dengan membidani lahirnya PKB, selain partai- partai kecil semacam PKU, PNU. Puncak keemasan sekaligus ketragisan adalah saat Abdurrahman Wahid naik sebagai Presiden ke-4 RI, sekaligus dilengserkan ramai-ramai. NU ter-”luka”, khususnya terhadap golongan modernisme Islam (Poros Tengah-Golkar) dan kaum abangan-nasionalis (PDI-P).

Problematika internal

Ada dua hal yang akan menentukan masa depan politik NU pascapilpres. Pertama, perpecahan internal. Pecahnya suara nahdliyin ke dalam dua kubu: NU struktural pro-Hasyim vs NU-PKB pro-Gus Solah. Perpecahan ini akan menjadi titik awal bagi praktik politisasi terhadap NU, sebab PKB sebagai “jalur sah dan resmi” warga NU, tidak mampu menciptakan ukhuwah nahdliyyah dengan PBNU sebagai penguasa struktural.

Satu sisi, NU secara organisasi akan terus dicederai dengan politisasi karena tidak jelasnya mekanisme Khittah 26 sehingga NU akan terus menjadi “kendaraan” politik bagi pengurusnya, sisi lain PKB ternyata mengalami “impotensi” perebutan kekuasaan (struggle to power) dengan lengsernya Gus Dur dan terganjalnya “jago utama” NU dalam politik kepresidenan. PKB malah “mengkhianati” rakyat melalui koalisi pragmatis dengan Golkar yang pada pilpres ini ternyata tak memberi dukungan maksimal terhadap Wiranto-Gus Solah. Masa depan politik NU akan bergantung kemauan rekonsiliasi PKB-PBNU yang faktanya ternyata bersumber dari konflik pribadi antara Gus Dur dan Hasyim Muzadi. Jika tidak, warga NU akan berada dalam kebingungan dan akhirnya meliriklah mereka kepada kekuatan politik non-NU, semisal SBY-JK.

Kedua, bargaining position kiai terhadap politisi abangan. NU dianugerahi potensi politik yang amat besar dan mungkin akan kekal, yakni budaya paternalis-primordialistik terhadap kiai. Dalam Religion dan Political Development (1970), Donald E Smith menggambarkan budaya politik Dunia Ketiga yang menggunakan agama sebagai kekuatan politik (religiopolitik). Posisi ulama (kiai) yang dalam NU memegang kedaulatan tertinggi akan membuat ia dibutuhkan politisi abangan sebagai “perantara budaya” (cultural brokers) guna menjadi magnet penyedot suara orang-orang desa. Hal ini terbukti dengan diperebutkannya kiai Hasyim-Gus Solah oleh Golkar-PDI-P (Clifford Geertz, 1955:32).

Hanya saja, jika para kiai tidak mampu menaikkan posisi tawarnya, dari “broker budaya” pendulang suara kepada posisi politik yang lebih signifikan, kiai dan NU akan terus dimanfaatkan hanya berlandaskan kalkulasi kuantitas. Politik NU tidak akan mampu berjaya seperti saat ia ikut menentukan UUD 1945 dengan menghapuskan Piagam Jakarta, manifesto Resolusi Jihad yang menggelorakan perlawanan kolonial, atau saat NU menjelma civil society yang menjalankan peran counter balancing terhadap negara Orde Baru. Politik NU akan selamanya menjadi sistem politik tradisional yang tidak mampu berlaga dalam pertarungan politik kontemporer yang sudah lintas batas primordial dengan penggunaan mesin politiknya. Kemenangan Golkar pada pemilu legislatif serta SBY pada pilpres putaran pertama ini menjadi bukti, lawan-lawan politik NU telah mempunyai kekuatan kontemporer yang modern.

Bertolak dari hal ini, kiranya perlu mencermati dua alternatif politik NU yang sebenarnya pernah membesarkan NU dalam kancah kebangsaan. Wilayah politik itu seperti termaktub dalam taushiyah Syuriah PBNU di Rembang jilid II (30/6). Wilayah pertama dan tertinggi adalah politik kerakyatan. Politik model ini dilakukan NU pada awal berdirinya (1926) dengan menandaskan diri sebagai jam’iyyah diniyyah yang melindungi praktik Islam lokal dari “pemberangusan budaya” (ikonoklasme) yang dilakukan gerakan puritanisme Islam ala Wahabisme Timur Tengah. NU melindungi tradisi keagamaan orisinal masyarakat Indonesia dengan pendekatan pendidikan kebudayaan.

Kedua, politik kenegaraan. Politik ini dijalankan NU melalui keterlibatan wakilnya semisal KH Wahid Hasyim dalam perumusan UUD negara (1945), dengan menyelamatkan Pancasila dari praktik ekslusivisme Islam. NU juga terbukti tidak terlibat berbagai pemberontakan bahkan ikut memberangus G30S. Politik kenegaraan NU juga dijalankan dengan manis melalui gerakan oposisi kultural terhadap otoritarianisme Soeharto (1984-1998). NU dalam masa ini betul-betul menjadi primadona civil society (Syafiq Hasyim, 2004).

Wilayah ketiga adalah politik kekuasaan. Politik ini merupakan model terendah namun paling disukai NU. Bahkan pasca-Khittah 26, masih terjadi perang posisi (war of position) antara sayap politisi dan sayap civil society. Terjerembabnya NU dalam politik kekuasaan berawal dari kesediaan Gus Dur sebagai capres Pemilu 1999, serta cawapresnya PBNU Hasyim Muzadi pada Pemilu 2004.

Bagaimanakah masa depan politik NU pascapilpres? Apakah NU akan tetap berpusing- pusing dalam ranah politik praktis, tanpa memperbaiki sistem politik tradisionalnya? Akan semakin lebarkah perpecahan intern NU akibat konflik PKB-PBNU, yang mengakibatkan diobok-oboknya NU oleh orang lain? Atau NU berani kembali kepada orientasi politik kerakyatan dan kenegaraan yang terbukti lebih memberikan kemaslahatan umat?

Memproklamirkan ‘Ahlussunnah wal Bidah Hasanah’





Judul: Ahlussunnah wal Bidah Hasanah
Penulis: Tim Jurnal Kalimah
Penerbit: Lesbumi Yogyakarta
Cetakan: Mei 2008
Tebal: 169 halaman


Kalangan Nahdliyin (warga organisasi Nahdlatul Ulama/NU), juga para kiai dan santri di pondok pesantren sering dihadapkan dengan gugatan kelompok yang menamakan diri ‘kelompok pemurnian Islam’ atau ‘kelompok modernis’. Mereka yang muncul belakangan ini ‘berteriak-teriak’ mengharamkan alias mencap sesat beberapa ritual peribadatan (ubudiyah) yang sudah lama dijalankan semenjak Islam pertama kali berkembang di Nusantara, seperti tahlilan, ziarah kubur, selamatan, selawat Nabi, perayaan Maulid Nabi, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Ada satu senjata andalan yang sering mereka todongkan yakni bahwa Nabi Muhammad SAW pernah menyatakan: “Kullu bid’atin dholalah, wa kullu dhalalatin fin nar”, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi: semua bid’ah atau perkara baru dalam beribadah itu adalah sesat dan semua kesesatan itu adanya di neraka.

Terkadang gugatan itu ditanggapi ditanggapi sambil lalu, terkadang malah didiamkan saja. Namun terkadang juga ditanggapi serius seperti ini: Bahwa kata ‘kullu’ dalam hadits Nabi di atas menurut kaidah kebahasaan tidak harus berarti ‘semua’ tetapi juga berarti ‘sebagian’. Kemudian dikutip juga kaidah Imam Syafi’i bahwa bid’ah itu ada dua, adakalanya ‘bid’ah hasanah’, adakalanya ‘bid’ah dhalalah’, bisa jadi baik, juga bisa saja sesat.

Kadang gugatan ditanggapi dengan sedikit rumit begini: ‘Bid’ah’ itu kata benda, tentu mempunyai sifat, mungkin saja ia bersifat baik atau mungkin bersifat jelek. Sifat tersebut tidak ditulis dan tidak disebutkan dalam hadits Nabi di atas yang dalam ilmu balaghah dikatakan, “hadzfus sifat alal maushuf”, membuang sifat dari benda yang bersifat”. Seandainya dituliskan kata ’bid’ah’ maka terjadi dua kemungkinan: yang baik dan yang sesat. Dan seterusnya.

Namun kalangan penggugat tidak peduli dengan ilmu tata bahasa Arab yang rumit sebagai prasyarat memahami dalil hadits. ”Pokoknya yang bid’ah itu sesat, titik!” Dan itu terus bergulir sampai sekarang. Klaim bid’ah sesat betapa pun tetap menjadi tambahan pekerjaan bagi Nahdliyyin yang tidak mengenakkan, tidak berguna sama sekali.

Nah, ada selentingan yang menarik dari para penggiat Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi), lembaga kesenian NU di Yogyakarta. Dalam jurnal ‘Kalimah: Jalinan Kreatif Agama dan Budaya’ edisi pertama ini mereka mengangkat istilah ‘ahlussunnah wal bid’atil hasanah’. Seakan mereka memproklamirkan bahwa ‘kami ini memang kelompok ahli bid’ah hasanah’.

Selama ini klaim warga Nahdliyyin sebagai 'ahlussunnah wal Jamaah' (Aswaja) atau pengikut setia Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya dianggap kurang menggigit; kurang membidik ke sasaran, karena kalangan ‘pemurnian Islam’ juga bisa mengkalim diri sebagai Aswaja. Sama saja ketika kalangan Nahdliyin menyebut diri sebagai pengikut ulama salaf, mereka juga sering menamakan diri sebagai kelompok salafi.

Maka proklamirkan saja kita sebagai ahli bid’ah hasanah, sekedar mengakhiri polemik, karena terma ’bid’ah’ lah yang selama ini terus menjadi andalan mereka. Lesbumi Yogyakarta sepertinya sedang mengkritik kalangan Nahdliyyin yang sering berlaku defensif dan bersibuk melayani gugatan kalangan ’pemurnian Islam’. Sekali lagi, perdebatan tentang bid’ah itu sama sekali tida berguna.

Memang, masih ada semacam ketakutan yang dibawa-bawa dari Tanah Arab sana, dimulai pada permulaan abad-20 saat berkembangnya faham Wahabi. Mereka sangat ketakutan dengan terma ’syirik’ atau menyekutukan Allah SWT sehingga apapun bentuk ibadah yang tidak diajarkan, atau segala bentuk laku hidup yang tidak pernah dicontohkan langsung oleh Nabi jangan dilakukan! Makam para sahabat Nabi yang bernilai historis diratakan agar tidak ada yang meminta-minta kepada arwah. Lalu, bermadzab atau mengikuti pendapat ulama dilarang, karena semua hal harus dikembalikan kepada Al-Qur’an dan Hadits.

Untung saja waktu itu KH Hasyim Asy’ary, KH Wahab Chasbullah dan para kiai yang tergabung dalam ’Komite Hejaz’ (yang merupakan cikal bakal organisasi NU) segera mengirimkan surat kawat dan memohon dengan hormat kepada Raja Ibnu Saud agar menghargai perbedaan pandangan di kalangan umat Islam seluruh dunia, dan alhamdulillah dikabulkan.

Demikianlah. Namun ketakutan untuk berlaku ’syirik’ itu terus menjadi-jadi , apalagi ketika dicampuraduk dengan kepentingan politik. Bahwa semakin banyak pilihan dalam beribadah, semakin banyak pendapat ulama maka semakin sedikit kesempatan penguasa Arab untuk berlaku otoriter.

Tidak untungnya ketakutan itu terus menular ke Nusantara. Tidak untungnya lagi, kalangan anti bid’ah ini berpretensi menghapuskan apapun yang kelaku dalam tradisi masyarakat setempat (meskipun secara diam-diam mereka juga sering mengamalkan bid’ah itu). Oleh kalangan ini, Islam secara sadar kemudian selalu diidentikkan dengan segala sesuatu yang berbau Arab.

Tidak! Islam tidak bersifat lokal. Islam bukan hanya untuk orang Arab saja. Islam adalah rahmatan lil alamin, untuk umat sedunia.

Dengan memproklamirkan terma ‘ahlus sunnah wal bid’ah hasanah’ dalam jurnal Kalimah sepertinya para penggiat Lesbumi Yogyakarta ingin menyelesaikan perdebatan dengan gaya menantang, mengatakan bahwa "kami inilah pelaku bid’ah hasanah."

Jurnal Kalimah edisi ini semakin lebih bermanfaat dengan menghadirkan beberapa tulisan penting terkait terma tersebut, tentang keislaman di Nusantara. Tulisan budayawan Agus Sunyoto mengkaji proses pengembangan nilai-nilai keislaman melalui budaya Nusantara. K Muhaimin ingin “Menemukan Ruas Sambung Agama dan Budaya Lokal." M Jadul Maula membincang soal Islam dan tranformasi budaya lokal, sekedar meyakinkan bahwa para ulama Nusantara adalah benar-benar waratsatul anbiya, pewaris para Nabi. Anis Masduki menjelaskan Aswaja Nusantara sebagai model Aswaja yang benar-benar ‘hidup’ di tengah-tengah tradisi dan problematika umat Islam di Nusantara.

Para ahli bid’ah hasanah ini juga tidak tanggung-tanggung melakukan riset mengenai produk-produk bid’ah yang telah berkembang di Nusantara seperti hadrah, tradisi rumatan, tradisi alalabang, kenduren, dan konversi pewayangan. Ada juga biografi singkat mengenai sosok seorang ahli bid’ah hasanah di Nusantara, KH Soleh Darat.

Di awal perbincangan Lesbumi Yogyakarta mengingatkan kembali kiprah warga Nahdliyin di bidang kesenian. Para ulama telah berkompromi dengan para seniman. Bukan dengan cara memunculkan ‘seni Islami’ yang sangat sederhana dengan dengan mendata dan memamerkan simbol-simbol keislaman seperti sekarang ini, tetapi menjadikan seni sebagai saranan untuk mengembangkan nilai-nilai keislaman.

Mungkin saja, saat ini bidang kesenian kurang tergarap oleh kalangan Nahdliyin gara-gara terlalu sibuk menganggapi klaim bi’dah itu. Maka sekarang jangan sungkan-sungkan, katakan, ahlussunnah wal bid’atil hasanah. Kami ini adalah ahli bid’ah yang baik. Ini bukanlah ide, atau ajaran yang perlu dihafal diperdalam lalu dipaktekkan, tapi sebuah sikap dalam menghadapi berbagai persoalan dan gugatan yang tidak penting.

STOP SUBSIDI MOBIL

Di negeri ini para pemilik mobil pribadi adalah kaum beruntung. Bisa dibayangkan, tercatat lebih dari 8 juta mobil pribadi yang berseliweran di jalan negeri yang berpenduduk 230 juta jiwa ini. Waljasil, karena cukup banyak keluarga yang memiliki lebih dari satu mobil cukup aman untuk menduga bahwa para pemilik mobil ini adalah sepuluh persen dari penduduk Indonesia. Mereka di ujung atas tingkat kesejahteraan.
Sementara di ujung yang lain hidup sekitar 20 juta keluarga termiskin bangsa ini dengan pendapatan di bawah 2 US$ per hari. Mereka jelas termasuk kelompok fakir miskin, yang menurut konstitusi harus dibebaskan dari kepapaanya oleh pemerintah.
Tapi apa yang selama ini dilakukan pemerintah?
Gara-gara kenaikan harga minyak dunia yang gila-gilaan belakangan ini (yang diperkirakan pada akhir bulan ini mencapai 150 US$ per barel), sebagian besar dana pengeluaran pemerintah ternyata dipakai untuk mensubsidi bahan bakar minyak, yang tahun ini diperkirakan mencapai 132 triliun. Ini berarti lebih dari empat kali lipat belanja uuntuk departemen pendidikan, lembaga pemerintaj yang anggarannya paling besar.
Lantas siapa saja penikmat subsidi tersebut? Secara perhitungan diperkirakan 70 persen dari jumlah itu dinikmati oleh para pengguna mobil. Untuk setiap kendaraan roda empat, pemerintah memberikan subsidi rata-rata satu juta stiap bulannya. Dan ini berarti, jika dalam satu keluarga memiliki empat buah mobil maka mereka menerima derma pemerintah 4 juta setiap bulan. Bandingkanlah nasib beruntung kalangan tersebut dengan kaum miskin di negeri ini, yang hanya menerima bantuan 100 ribu perbulan dan itupun hanya diberikan stiap tiga bulan sekali. Ketidakjelasan ini harus segera dihentikan.
Sayangnya pemerintah tak memiliki keberanian untuk melakukannya. Alasannya sederhana, memangkas subsisdi minyak berarti menaikkan harga BBM akan memicu kenaikan harga, memukul kaum miskin dan memunculkan unjuk rasa besar-besaran. Alasan ini ada benarnya, tapi hanya sebagian. Kebijakan penjualan penjualan bahan bakar minyak dapat diubah tenpa menaikkan harga harga dengan melarang mobil pribadi membeli premium dan solar. Para pemilik mobil pribadi memang tidak sepatutnya mendapat derma dari pemerintah.
Sayangnya pemerintah memilih untuk menaikkan harga minyak sekitar 30 persen, yang kesannya hanya untuk menyelematkan anggaran tanpa mempedulikan keadilan yang timpang semacam ini. Semua pembeli premium, solar dan minyak tanah dari berbagai kalangan terkena dampak kenaikan harga ini, baik yang menggunakannya untuk kegiatan konsumtif ataupun produktif. Sopir angkutan kota dan pemilik mobil mewah tetap menerima subsidi per liter yang sama besarnya. Ini memicu kenaikan harga karena ongkos transportasi barang dan jasa yang terdongkrak.
Pemerintah beralasan kebijakan menyetop penjualan premium dan solar kepada pemilik mobil pribadi tak dipilih karena tidak akan berjalan efektif. Kilah yang sering kali dilontarkan adalah akan terjadinya kebocoran. Banyak kendaraan umum akan meningkatkan meningkatkan pembelian premium dan solar untuk dijual kembali di pasar gelap. Kebocoran seperti ini memang dipastikan akan terjadi, tapi bukannya tidak dapat diatasi. Dengan pengawasan yang lebih ketat dan pemanfaatan teknologi , tingkat kebocoran dan penyalahgunaan akan dapat diminimalisir. Pewarnaan premium dan solar bersubsidi serta penggunaan smart card adalah salah satu cara yanjg dapat dimanfaatkan.
Kini pilihan keliru telah diterapkan, tapi nasi belumlah menjadi bubur. Kenaikan harga minyak dunia masih terus meroket dan anggaran pemerintah hanya aman untuk sementara. Kita bisa berharap, waktu jeda yang tersedia setelah kenaikan harga BBM bisa dimanfaatkan sebaik mungkin. Pilihan kebijakan tentang harga minyak tak boleh lagi semata-mata demi menyelematkan neraca anggaran pemerintah, tapi harus bertumpuh pada sisi keadilan. Itu sebabnya persiapan mencabut subsidi BBM bagi para pemilik mobil pribadi harus dilakukan dan diterapkan pada waktu yang tepat.
Pada momen merayakan satu abad kebangkitan nasional sekarang ini, para pemilik mobil pribadi diharapkan rela menyumbangkan subsidi yang diterimanya untuk kaum papa negeri ini. Meminjam ungkapan Dedi Mizwar, seorang pekerja kreatif di dunia perfilman kita. Bangkit itu susah, susah melihat orang lain susah, senang melihat orang lain senang. Bukan senang di atas penderitaan orang lain!

Kamis, 22 Mei 2008

Pablo Neruda

Bagi saya, menulis seperti bernafas. Saya tidak dapat hidup jika tidak bernafas dan saya tidak bisa hidup jika tidak menulis.
Emily Dickinson

Puisi bukanlah menjinakkan emosi tapi keluar dari emosi; puisi bukan pula mengungkapkan kepribadian melainkan keluar dari kepribadian. Tentu saja, hanya mereka yang punya kepribadian dan emosi sajalah yang tahu apa maksudnya keluar dari keduanya.
Perihal Keris dan Sebilah Sajak

Sebilah keris buatan para perajin di kaki bukit Imogiri, Yogyakarta, dapat diselesaikan dalam hitungan hari, lengkap dengan sarung dan aksesorisnya. Keris semacam ini biasa dijual sebagai suvenir atau dipakai sebagai pelengkap pakaian adat. Harganya murah dan dapat diproduksi secara masal asalkan tidak diharapkan memiliki kualitas standar sebuah keris, apalagi memiliki aura magis sebagaimana layaknya sebuah benda pusaka.

Sebilah keris buatan empu (di kaki bukit Imogiri itu juga ada seorang empu keris sungguhan), lain lagi ceritanya. Besi bahan yang berkualitas baik haruslah dilebur langsung dari bijih, meski sekarang banyak pula empu yang terpaksa memakai besi bekas rel kereta atau besi plat. Besi itu dibuat semacam pita yang dilipat-lipat beberapa lapis, lalu dipipihkan lagi menjadi satu lapis pita, dilipat-lipat lagi, dipipihkan lagi, demikian seterusnya puluhan hingga ratusan kali sehingga diperoleh kepejalan bahan yang diinginkan. Dari hasil lipatan-lipatan itu, tak jarang dengan sisipan bahan lain, seperti batu meteor atau jenis logam lain, akan diperoleh garis-garis tekstur yang akan muncul menegas setelah proses finishing bilah tersebut. Jangan dilupakan juga proses persiapan sang empu dalam menyiapkan dirinya mengerjakan tugas besar yang bisa makan waktu berbulan-bulan itu. Sang empu, selain menyiapkan perangkat ritual, juga menyiapkan mentalnya dengan laku spiritual yang khusus. Dari sinilah awam meyakini, keris yang dihasilkan nanti akan memiliki “kekuatan dalam” yang menebarkan perbawa, aura kekuatan, tertentu. Tentu saja, dari segi estetika semata, akan jauh kelihatan beda kualitasnya dengan keris suvenir kodian.

Jika keris itu adalah sebuah sajak, pastilah dapat dirasakan mana sajak buatan perajin yang sekedar memenuhi target produksi dan mana sajak buatan empu yang, demi menjaga kualitas, harus memenuhi kaidah-kaidah pakem yang tidak dapat ditawar-tawar. Tentu saja menempa sebilah sajak tidak harus menghabiskan waktu selama waktu menempa sebilah keris, walaupun beberapa penyair serius ada juga yang membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk menyelesaikan sebuah sajak. Yang lebih penting adalah etos kerja keempuan itu. Produktivitas, di sisi yang lain, pun tidak diharamkan. Nyatanya banyak juga penyair yang begitu produktif sembari tetap menjaga etos keempuannya. Memiliki etos keempuan sekaligus produktivitas semacam ini adalah sebuah kemewahan yang wajib disyukuri, tetapi jangan sampai tuntutan produktivitas itu mengurbankan etos keempuan itu.

Seorang pembuat keris, sebelum layak disebut empu, harus menjalani latihan-latihan yang berat, menimba ilmu sebanyak-banyaknya. Ia harus menguasai metalurgi bahan sama baiknya dengan ia menguasai palu dan tungku untuk memasak keris. Tetapi yang lebih berat adalah ilmu mengolah rasa, olah batin, agar keris masterpiece buatannya tidak terpolusi oleh ke-aku-annya, tidak dikotori oleh kekuatan-kekuatan rendah, dan yang paling penting agar keris itu bukan menjadi senjata pembunuh melainkan menjadi perlambang ketajaman kearifan penyandangnya dalam misi “memayu hayuning bawana”, memuliakan kehidupan di muka bumi. Dengan demikian, sebilah keris itu akan “hidup”, sebab sang empu telah menitiskan ruh kreatifnya ke dalam wadag sang keris.

Demikian pula sebaiknya seorang penyair dengan sajak-sajaknya.