Jumat, 30 Mei 2008

Politik NU Pascapilpres

Melejitnya posisi Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla dalam pemilu presiden langsung 2004 jelas meninggalkan “luka” bagi kans politik NU. Penyebabnya, selama Pemilu 2004, NU telah “tercabik- cabik” berbagai kepentingan politik, baik dari politisi abangan (PDI-P dan Golkar) maupun para elitenya sendiri.

Seberapa parah “luka” NU pascadipolitisasi habis-habisan, masih adakah peluang bagi jama’ah diniyyah yang “bernafsu” politik besar ini mengulang masa kejayaan politiknya, seperti masa kemerdekaan dan Pemilu 1955 (PNU)? Hingga kini pasangan SBY-JK menduduki posisi teratas dengan suara sementara 33 persen, disusul pasangan Mega-Hasyim, 26 persen, Wiranto-Gus Solah 24 persen, Hamzah-Agum 3 persen (Kompas, 9/7).

Pemilu langsung ini benar-benar membuat kalkulasi politik, yang masih menggunakan paradigma primordialisme-aliran, meleset. Mega dan Wiranto yang ingin memanfaatkan fanatisme kiai dari warga NU kecele saat hasil quick count beberapa lembaga riset politik (LP3ES, NDI) menunjukkan sekitar 32 persen suara nahdliyin “dibelokkan” ke SBY-JK.

Namun, apakah politik NU akan habis saat yang terpilih menjadi presiden-wakil presiden nanti adalah SBY-JK yang bukan dari NU? Yang jelas, politic is the art of possibility dan NU merupakan ormas raksasa yang tidak kapok-kapok dan terbukti mempunyai potensi politis besar. Fanatisme warga, yang terbentuk oleh apa yang disebut Donald E Smith (1970) sebagai sistem politik tradisional berdasarkan keagamaan, telah membuat NU bergelimang sejarah politik praktis.

Yang perlu diingat, cerita politik NU yang sering tidak happy ending dan cenderung “dilukai”. Dimulai saat terpinggirkannya orang-orang NU di Masyumi (1939), yang menyebabkan NU berdiri sendiri sebagai Partai Nahdlatul Ulama (1952) dengan kemenangan mengimbangi PNI dan PKI, NU mengalami pemberangusan oleh Orde Baru. Pemberangusan itu menyebabkan “tubuh gemuk” NU dipangkas dalam PPP (1973), yang terbukti “menyakiti” dengan memarjinalkan wakil nahdliyin dalam kabinet (Mujamil Qomar, NU Liberal, Mizan: Bandung, 2002).

Berangkat dari “sakit hati” serta keinginan reorientasi organisasi, NU cerai dari politik praktis dengan menggelorakan “politik tanpa politik” (unpolitical politics) lewat Khittah 26. Namun, dasar “nafsu” politik NU besar, saat kebebasan politik terbuka pascaruntuhnya despotisme Soeharto, NU menjelma lagi dengan membidani lahirnya PKB, selain partai- partai kecil semacam PKU, PNU. Puncak keemasan sekaligus ketragisan adalah saat Abdurrahman Wahid naik sebagai Presiden ke-4 RI, sekaligus dilengserkan ramai-ramai. NU ter-”luka”, khususnya terhadap golongan modernisme Islam (Poros Tengah-Golkar) dan kaum abangan-nasionalis (PDI-P).

Problematika internal

Ada dua hal yang akan menentukan masa depan politik NU pascapilpres. Pertama, perpecahan internal. Pecahnya suara nahdliyin ke dalam dua kubu: NU struktural pro-Hasyim vs NU-PKB pro-Gus Solah. Perpecahan ini akan menjadi titik awal bagi praktik politisasi terhadap NU, sebab PKB sebagai “jalur sah dan resmi” warga NU, tidak mampu menciptakan ukhuwah nahdliyyah dengan PBNU sebagai penguasa struktural.

Satu sisi, NU secara organisasi akan terus dicederai dengan politisasi karena tidak jelasnya mekanisme Khittah 26 sehingga NU akan terus menjadi “kendaraan” politik bagi pengurusnya, sisi lain PKB ternyata mengalami “impotensi” perebutan kekuasaan (struggle to power) dengan lengsernya Gus Dur dan terganjalnya “jago utama” NU dalam politik kepresidenan. PKB malah “mengkhianati” rakyat melalui koalisi pragmatis dengan Golkar yang pada pilpres ini ternyata tak memberi dukungan maksimal terhadap Wiranto-Gus Solah. Masa depan politik NU akan bergantung kemauan rekonsiliasi PKB-PBNU yang faktanya ternyata bersumber dari konflik pribadi antara Gus Dur dan Hasyim Muzadi. Jika tidak, warga NU akan berada dalam kebingungan dan akhirnya meliriklah mereka kepada kekuatan politik non-NU, semisal SBY-JK.

Kedua, bargaining position kiai terhadap politisi abangan. NU dianugerahi potensi politik yang amat besar dan mungkin akan kekal, yakni budaya paternalis-primordialistik terhadap kiai. Dalam Religion dan Political Development (1970), Donald E Smith menggambarkan budaya politik Dunia Ketiga yang menggunakan agama sebagai kekuatan politik (religiopolitik). Posisi ulama (kiai) yang dalam NU memegang kedaulatan tertinggi akan membuat ia dibutuhkan politisi abangan sebagai “perantara budaya” (cultural brokers) guna menjadi magnet penyedot suara orang-orang desa. Hal ini terbukti dengan diperebutkannya kiai Hasyim-Gus Solah oleh Golkar-PDI-P (Clifford Geertz, 1955:32).

Hanya saja, jika para kiai tidak mampu menaikkan posisi tawarnya, dari “broker budaya” pendulang suara kepada posisi politik yang lebih signifikan, kiai dan NU akan terus dimanfaatkan hanya berlandaskan kalkulasi kuantitas. Politik NU tidak akan mampu berjaya seperti saat ia ikut menentukan UUD 1945 dengan menghapuskan Piagam Jakarta, manifesto Resolusi Jihad yang menggelorakan perlawanan kolonial, atau saat NU menjelma civil society yang menjalankan peran counter balancing terhadap negara Orde Baru. Politik NU akan selamanya menjadi sistem politik tradisional yang tidak mampu berlaga dalam pertarungan politik kontemporer yang sudah lintas batas primordial dengan penggunaan mesin politiknya. Kemenangan Golkar pada pemilu legislatif serta SBY pada pilpres putaran pertama ini menjadi bukti, lawan-lawan politik NU telah mempunyai kekuatan kontemporer yang modern.

Bertolak dari hal ini, kiranya perlu mencermati dua alternatif politik NU yang sebenarnya pernah membesarkan NU dalam kancah kebangsaan. Wilayah politik itu seperti termaktub dalam taushiyah Syuriah PBNU di Rembang jilid II (30/6). Wilayah pertama dan tertinggi adalah politik kerakyatan. Politik model ini dilakukan NU pada awal berdirinya (1926) dengan menandaskan diri sebagai jam’iyyah diniyyah yang melindungi praktik Islam lokal dari “pemberangusan budaya” (ikonoklasme) yang dilakukan gerakan puritanisme Islam ala Wahabisme Timur Tengah. NU melindungi tradisi keagamaan orisinal masyarakat Indonesia dengan pendekatan pendidikan kebudayaan.

Kedua, politik kenegaraan. Politik ini dijalankan NU melalui keterlibatan wakilnya semisal KH Wahid Hasyim dalam perumusan UUD negara (1945), dengan menyelamatkan Pancasila dari praktik ekslusivisme Islam. NU juga terbukti tidak terlibat berbagai pemberontakan bahkan ikut memberangus G30S. Politik kenegaraan NU juga dijalankan dengan manis melalui gerakan oposisi kultural terhadap otoritarianisme Soeharto (1984-1998). NU dalam masa ini betul-betul menjadi primadona civil society (Syafiq Hasyim, 2004).

Wilayah ketiga adalah politik kekuasaan. Politik ini merupakan model terendah namun paling disukai NU. Bahkan pasca-Khittah 26, masih terjadi perang posisi (war of position) antara sayap politisi dan sayap civil society. Terjerembabnya NU dalam politik kekuasaan berawal dari kesediaan Gus Dur sebagai capres Pemilu 1999, serta cawapresnya PBNU Hasyim Muzadi pada Pemilu 2004.

Bagaimanakah masa depan politik NU pascapilpres? Apakah NU akan tetap berpusing- pusing dalam ranah politik praktis, tanpa memperbaiki sistem politik tradisionalnya? Akan semakin lebarkah perpecahan intern NU akibat konflik PKB-PBNU, yang mengakibatkan diobok-oboknya NU oleh orang lain? Atau NU berani kembali kepada orientasi politik kerakyatan dan kenegaraan yang terbukti lebih memberikan kemaslahatan umat?

Tidak ada komentar: