Dewasa ini, dalam dunia sastra kita banyak disajikan dengan banyak hadirnya karya-karya sastra yang bergenre islami, terutama novel. Tentu hal ini cukup menggembirakan, menggeliatnya dunia sastra Indonesia tentu tidak bisa dilepaskan dari munculnya larya sastra yang demikian. Namun yang menjadi permasalahan adalah hadirnya novel-novel tersebut menimbulkan stigmatisasi “islami” terhadap suatau karya sastra. Apalagi tema yang diangkat dalam karya tersebut adalah soal percintaan dengan menegasikan tema-tema yang lain dan akhirnya muncullah apa yang dinamakan sastra Islam.
Banyak hadirnya novel atau karya sastra yang seolah menampilkan tampang sastra Islam dan dengan tema-tema yang hampir serupa (untuk tidak mengatakan mecontek) secara tidak langsung menampilkan stigma semacam itu dan membatasi wilayah sastra “Islam”.
Islam sendiri tak ayal lagi adalah rahmatan lil ‘alamin. Tak secuilpun wilayah dalam alam nyata bahkan dalam angan-angan yang tak luput dari jangkauan Ilahi. Islam efektif di wilayah orang atheis sebagaimana juga efektif di wilayah yang disebut daerah Islam. Tak ada sesuatu yang dibatasi ruang dan waktu ini kecuali semuanya tunduk kepada ketentuan Allah, dengan ikhlas atau dengan paksa.
Apabila Islam mempunyai jangkauan seluruh alam maka seberapa luaskah wilayah sastra “Islam”? apakah dia terbatas pada kasidah-kasidah atau hanya kisah-kisah percintaan yang seolah-olah itu adalah percintaan cara Islam? Mestinya tidak. Karena wilayah sastra “Islam” mestilah seluas wilayah Islam itu sendiri. Sastra “Islam” sebagai anak kandung peradaban Islam mesti diberi tempat dalam kedudukan yang agung.
Dapat dicontohkan disini novel lawas Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Thohari, bagaimana novel ini ketika menggambarkan alur cerita bisa dikatakan vulgar. Dunia ronggeng yang cabul dan kufur dikemukakan tanpa tedeng aling-aling. Ahmad Thohari sendiri saya yakin adalah seorang santri dan faham akan ajaran-ajaran Islam. Dari situlah saya juga yakin dia juga berusaha menunjukkan nilai-nilai Islam (dalam arti yang paling inti) lewat novel tersebut. Dengan alur cerita yang cukup vulgar dan bahasanya yang khas bukan berarti karya ini tidak bisa dikategorikan sebagai Sastra “Islam”. Karena memang di willayah itulah dia mampu berusaha menunjukkan nilai Islam secara efektif.
Melihat fenomena sastra Indonesia saat ini, sejatinya para pekerja kreatif karya sastra khususnya yang intens terhadap dunia keislaman lebih kretif lagi dengan menentukan tema-tema keislaman yang tidak melulu masalah percintaan sehingga apa yang diistilahkan bahwa Islam shalihun li kulli zaman wa makan juga berlaku bagi sastra “Islam”, sehingga wilayah-wilayah lain dalam kajian keislaman tidak luput dari panadangan sastra.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar